Minat masyarakat Indonesia terhadap produk kecantikan dan perawatan kulit (skincare) terus menggeliat. Ketertarikan masyarakat akan berbagai produk tersebut, bahkan tak tergerus oleh adanya pandemi Covid-19.
Hal ini terlihat dari data Statista dimana pada tahun pertama pagebluk, pertumbuhan produk kecantikan dan skincare Indonesia tumbuh ke level 5,9%. Padahal, di saat yang sama pertumbuhan produk kecantikan dan perawatan dunia justru melambat hingga 8%.
Industri ini diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, seiring dengan perbaikan ekonomi dan meningkatnya kebutuhan masyarakat terhadap produk kecantikan ini. Statistika memperkirakan, pada tahun ini produk kecantikan dan skincare akan tumbuh di kisaran 7%.
Tingginya pertumbuhan industri produk kecantikan dan perawatan, jelas berpengaruh kepada peningkatan pendapatan industri ini. Masih dari laporan Statista, di sepanjang 2020 nilai pendapatan dari industri ini telah mencapai atau setara Rp104,3 triliun (kurs Rp14.900 per US$). Angka ini diperkirakan naik 7,25% menjadi US$7,46 miliar atau sekitar Rp111,15 triliun di 2021 dan US$9,58 miliar atau Rp142,74 triliun pada 2025.
Namun, di balik pertumbuhan itu, ada potensi kerusakan lingkungan yang tengah mengancam. Pasalnya, kebanyakan kemasan produk kecantikan dan skincare masih dibuat dengan menggunakan platik, kaca, atau material tidak ramah lingkungan lainnya. Dengan kondisi ini, tak heran jika organisasi filantropi modern asal Australia Minderoo Foundation melaporkan bahwa industri kosmetik global sedikitnya memproduksi 120 miliar unit kemasan tiap tahun.
Bayangkan jika kemasan lipstick, lip gloss, kotak concealer, wadah moisturizer, hingga krim pagi (day cream) Anda menumpuk di tempat pembuangan sampah akhir alias TPA. Atau lebih parah lagi, terbawa arus aliran air bersama sampah plastik atau sampah lainnya dan berakhir di laut.
Dari data Waste4Change, saat ini total sampah kemasan plastik dari industri kecantikan telah mencapai 6,8 juta ton. Sementara 70% di antaranya tidak terolah dengan baik, sehingga berakhir di TPA, terbakar, terkubur di tanah, hingga terbawa ke laut.
Pakar Manajemen Limbah dan Energi Aretha Aprilia pernah mengatakan, bahwa kurang bijaksana jika kita hanya mengandalkan penanganan limbah kemasan produk kecantikan dan skincare kepada pemerintah. Apalagi, Indonesia masih tergolong tertinggal soal teknologi pengelolaan sampah.
“Sampah kemasan kosmetik dan skincare di TPA hanya ditimbun karena kita memang belum punya teknologi yang memadai untuk mengolah jadi energi. Bayangkan kalau nanti TPA-TPA ini sudah overload nggak ada lagi tempat untuk menampung sampah,” katanya.
Bagaimanapun juga, pengelolaan limbah kemasan kosmetik dan skincare harus dilakukan oleh semua pihak, baik konsumen maupun produsen. Dari sisi konsumen, mengubah kebiasaan konsumsi kosmetik dan skincare agaknya dapat menjadi kunci pengurahan limbah industri ini.
Mengubah kebiasaan yang dimaksud Aretha adalah dengan tidak terlampau dalam pemakaian produk kosmetik dan/atau skincare. Sebagai contoh, adalah dengan tidak menerapkan tren 10 step Korean skincare yang sempat viral pada 2020 hingga 2021.
Sebab, semakin banyak step makeup atau skincare akan semakin banyak pula produk yang digunakan. Artinya, sampah kemasan yang dihasilkan juga semakin banyak.
Cara selanjutnya adalah dengan menggunakan makeup hingga habis. Jika memang tidak bisa menghabiskan suatu produk kosmetik atau skincare, seperti misalnya karena adanya iritasi atau ketidakcocokan pada kulit, Anda bisa menjualnya kepada orang lain. “Sekarang sudah banyak aplikasi-aplikasi atau website yang bisa digunakan untuk menjual makeup atau skincare yang sudah tidak dipakai, tapi masih belum habis masa kadaluarsanya,” imbuhnya.
Selain kedua cara itu, konsumen juga dapat memilih produk-produk kosmetik dan skincare yang menggunakan kemasan daur ulang atau menawarkan jasa daur ulang kemasan sisa, merek yang menawarkan isi ulang produk, hingga merek dengan kandungan alami dan tidak mengandung mikroplastik.
Sementara bagi para produsen, Aretha menyarankan agar mereka dapat menerapkan strategi EPR alias Extended Producer Responsibility atau memproduksi produk dengan kandungan alami dan bebas mikroplastik. Dari kedua strategi itu, agaknya EPR lah yang sampai sekarang sudah banyak dilakukan oleh para produsen kosmetik dan skincare.
Perlu diketahui, EPR sendiri ialah mekanisme atau kebijakan dimana produsen diminta bertanggungjawab terhadap produk yang mereka buat atau jual. Bertanggungjawab di sini, tidak hanya sekadar memperhatikan proses produksi atau pengembangan produk saja, melainkan juga terkait pengolahan kemasan produk setelah habis digunakan oleh konsumen.
“Salah satu skema EPR yang sering dilakukan oleh produsen adalah dengan take back system. Konsumen yang mengembalikan kemasan produk ke toko, akan mendapatkan promo tertentu untuk pembelian selanjutnya,” jelas dia.
Biasanya, produsen yang menjalankan strategi ini akan mendaur ulang sampah kemasan tersebut untuk diubah kembali menjadi kemasan baru. Langkah ini tidak hanya efektif untuk menurunkan volume timbulan sampah kemasan kosmetik dan skincare, namun juga dapat menghemat biaya operasional produsen untuk membeli bahan baku kemasan.
Penggunakan produk kemasan daur ulang pun kini tidak masalah bagi konsumen. Bahkan, seiring dengan mengingkatnya kesadaran masyarakat untuk menjaga lingkungan, kecenderungan konsumen dalam memilih produk kecantikan bebas bahan kimia, mikroplatik dan pengemasa daur ulang juga semakin besar.
Dari hasil riset Sustainable Beauty yang dirilis Milieu Insight belum lama ini kepada setidaknya 5.000 orang dari negara-negara di Asia Tenggara, kecuali Laos, Kamboja, Vietnam, dan Brunei Darussalam, 93% di antaranya cenderung memilih produk kecantikan bebas bahan kimia, termasuk mikroplastik di dalamnya. Sementara itu, 87% responden memilih opsi produk dengan pengemasan daur ulang.
Lebih rinci pada masyarakat Indonesia, riset ini menunjukkan bahwa 91% masyarakat Indonesia merespons baik produk kecantikan dengan pengemasan daur ulang sepenuhnya. Angka ini cukup besar jika disandingkan dengan beberapa negara tetangga, misalnya Singapura (70%) dan Malaysia (86%).
Mengenai klaim berkelanjutan dari produsen produk kecantikan, 58% masyarakat Indonesia lebih kritis dengan mencari lebih dalam tentang klaim tersebut. Hal ini umumnya dilakukan pada pengemasan produk hingga produksi produk. Selain itu, 92% masyarakat Indonesia juga mulai mau membayar lebih produk-produk kecantikan yang berkelanjutan dan etis.
Sementara itu, ada dua label berkelanjutan yang banyak diincar masyarakat Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Keduanya adalah alami (natural) sebanyak 78% serta bebas bahan kimia (clean/chemical-free/non-toxic) sebanyak 63%.
Untuk menjaga agar diri tetap cantik, kulit tetap sehat, sekaligus bisa menjaga lingkungan, berikut beberapa beauty brand yang telah mengaplikasikan prinsip sustainable dalam kegiatan produksinya:
Beauty, Love and Planet
Picture: www.dewimagazine.com
Beauty, Love and Planet memang bukan jenama asli Indonesia. Namun, saat pertama kali diperkenal di Amerika Serikat (AS) pada 2018, produk perawatan kulit ini berkomitmen untuk menjaga bumi. Hal ini dilakukan dengan cara menggunakan bahan-bahan dasar alam yang diolah secara bertanggung jawab, menghemat penggunaan air melalui produk kondisioner dengan teknologi cepat bilas, mengurangi jejak karbon yang dihasilkan, hingga memanfaatkan 100% platik daur ulang untuk kemasan produk.
The Body Shop
Picture: The Body Shop Indonesia
Eco-friendly beauty lain yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia ialah The Body Shop. Untuk menjaga kelestarian bumi, produk asal Brighton, Inggris ini memiliki gerakan yang dinamakan Enrich Our Planet. Gerakan ini diaplikasikan dengan berbagai cara, seperti menggunakan energi terbarukan pada setiap store, mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dalam mengemas setiap produk, serta menggunakan bahan-bahan alami dalam setiap produk yang mereka buat.
Tidak hanya itu, produk kosmetik dan skincare ini juga telah menerapkan sistem bottle-return untuk mengurangi sampah kemasan produk. Di saat yang sama, produk yang sudah ada di Indonesia sejak 1992 ini juga menyediakan produk refill atau isi ulang di toko-toko tertentu dengan harga sama seperti membeli kemasan baru, namun volume produk lebih banyak.
Sensatia Botanicals
Picture: Sensatia Botanicals Tokopedia
Produk kecantikan lokal satu ini pasti sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Sejak hadir pada 2000 lalu, Sensatia Botanicals telah menawarkan produk-produk yang diolah dari bahan-bahan alami, seperti Aloe&Cucumber Facial Mist yang terbuat dari campuran lidah buaya dan mentimun, Seastem Marine Essence yang mengandalkan giant kelp atau organisme laut sejenis makro alga, dan masih banyak lainnya.
Selain itu, produk yang kini telah mendunia ini juga mengajak para pembelinya untuk menerapkan kebiasaan guna ulang alias recycle. Caranya, dengan menukarkan kemasan bekas yang sudah dicuci bersih menjadi poin yang nantinya dapat digunakan untuk berbelanja produk baru lainnya.
Emina
Picture: www.hotelier.id/
Setelah merilis rangkaian produk ramah lingkungan yang terbuat dari bahan natural pada akhir tahun lalu, Emina kembali hadir dengan gerakan yang lebih nayata sebagai upaya pengurangan sampah plastik. Hal ini dilakukan dengan menyediakan ‘Empties Collection’ atau tempat penampungan kemasan sisa produk yang telah habis dipakai di beberapa storenya. Di saat yang sama jenama yang terkenal dengan makeup dan skincare untuk remaja ini juga bekerjasama dengan berbagai pihak seperti Waste4Change, Water House Project, WWF, Kemangteer, serta komunitas peduli lingkungan lain untuk menjalankan program waste management mereka.
Keina Beauty
Picture: Keina Beauty
Produk lokal lain yang telah berkomitmen untuk turut berkontribusi dalam merawat bumi Indonesia adalah Keina Beauty. Perlu diketahui, brand skincare ini memiliki visi untuk menjadi produk skincare lokal yang eco-friendly, cruelty free (bebas kejahatan), dan memiliki dampak bagi keberlangsungan bumi, serta memberikan efek maksimal bagi kesehatan dan kecantikan kulit.
Tidak heran, jika merek ini menawarkan produk yang bebas kandungan iritan dan minim bahan kimia. Tidak hanya itu, proses produksi Keina Beauty pun dilakukan tanpa uji pada hewan dan setiap produk dikemas secara bertanggungjawab dalam kemasan ramah lingkungan.